MENGENAL ALLAH
Tafsir Surat Al-Hasr (59) ayat 22-24
Dan
Tafsir Surat Ar-Rum (30) ayat 22-25
A.
Surat
Al-Hasr (59) ayat 22-24
1.
Makna
ayat ke 22
هُوَاللهُ الَّذِى لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلِمُ الغَيْبِ وَالسَّهَّدَتِ
هُوَ اللرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Dia-lah Allah yang tiada tuhan selain
dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang maha pemurah lagi
maha penyayang”.
Ayat
ini menjelaskan bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah, dan setiap orang
yang menyembah selain Dia seperti tumbuh-tumbuhan, batu, berhala, atau raja
adalah batal. Allah maha mengetahui segala sesuatu yang tampak dijagat raya
baik yang tampak maupun tidak tampak, serta tidak ada satu yang dilangit dan
dibumi ini yang lepas dari pengetahuan Tuhan. Allah memiliki rahmat yang amat
luas yang menjangkau seluruh ciptaan-Nya. Allah Maha Pengasih di dunia dan di
akhirat serta pada keduanya.
Menurut
ulama ahli tafsir bahwa pada ayat 22 surat al-Hasyr paling kurang berisi tiga
penegasan, yaitu pertama, tentang sebutan Allah sebagai Tuhan dalam islam,
kedua tentang sifat Ar-Rahman, dan ketiga tentang sifat Ar-Rahim bagi Allah
S.W.T.
Dalam
kaitan dengan sebutan Allah sebagai Tuhan, H.M. Quraish Shihab berpendapat
bahwa Allah adalah nama Tuhan yang paling popular. Para ulama berbeda pendapat
menyangkut lafal mulia ini, apakah ia termasuk Asma’ Al-Husna adalah sifat
Allah. Bukankah yang maha mulia itu sendiri menyatakan dalam kitab-Nya bahwa
Wa lillahil Asma’ Al Husna ( milik Allah nama-nama yang terindah)?. Karena
asmaul husna sifat Allah , maka tentu saja kata Allah bukan termasuk
didalamnya. Tetapi ulama lain ber[endapat bahwa kata tersebut demikian agung,
bahkan yang teragung, sehingga tidaklah wajar jika ia tidak termasuk Asma’
Al-Husna. Tidak ada halangan menurut mereka menjadikan lafal Allah sebagai
salah satu dari Asma’ Al-Husna, bukankah Allah juga merupakan nama-Nya yang
indah? Bahkan apabila anda berkata Allah maka apa yang anda ucapkan itu, telah
mencakup nama-Nya yang lain, sedang bila anda mengucapkan namanya saja yang
lain misalnya Ar-Rahim, Al-Malik, dan sebagainya, maka ia hanya menggambarkan
sifat rahmat atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat
dinamai Allah, baik secara hakekat maupun majas, sedang sifat-sifat-Nya yang
lain secara umum dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya.
Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa para ulama pada dasarnya sepakat
bahwa Allah adalah nama bagi Tuhan dalam islam, dan di dalam nama Allah
tersebut terhimpun seluruh sifat-Nya yang agung. Dengan demikian jika di sebut
nama Allah, maka seluruh sifat agung ada pada diri-Nya, sedangkan jika di sebut
salah satu sifat-Nya seperti arrahman,arrahim, dan seterusnya tidaklah
menghimpun seluruh sifat-Nya. Dalam kaitan ini H.M.Qurash Shihab lebih lanjut
menegaskan, agaknya dapat di sepakati bahwa kata Allah mempunyai kehususan yang
tidak di miliki oleh kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna
huruf-hurufnya, sempurna makna serta memiliki kekhususan yang berkaitan dengan
rahasianya, sehungga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang di namai
Ismullah al-A’zam (nama Allah yang paling mulia), yang bila di ucapkan
dalam do’a, Allah akan mengabulkannya.
Selanjutnya
mengenai arrahman dan arrahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena
itu dua nama inilah yang di tempatkan menyusul sebutan nama Allah. Ini pula
agaknya, yang menjadi sebab sehingga nabi Muhammad S.A.W. Melukiskan setiap
pekerjaan yang tidak di mulai dengan Bismillahirrahmanirrahim adalah
buntung, hilang berkatnya. Di dalam al-Qur’an kata arrahman terulang sebanyak
57 kali, sedangkan arrahim sebanyak 95 kali. Banyak para ulama
berpendaat bahwa baik arrahman maupun arrahim keduanya terambil dari akar kata
rahmat dengan alasan bahwa wazan (timbangan) kata tersebut di kenal dalam
bahasa arab, yaitu rahman setimbang dengan fa’lan dan ramim seimbang dengan
fa’il. Arrahman seperti di kemukakan di atas tidak dapat di sandang kecuali
oleh Allah S.W.T, karna itu pula di temukan dalam ayat al-Qur’an yang mengajak
manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata arrahman sebagai ganti kata Allah
atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Mkna yang terkandung
dari uraian ini adalah bahwa Allah S.W.T memiliki sifat yang maha pengasih dan
penyayang terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Orang yang
mempercayai Allah sebagai yang memiliki sifat arrahman dan arrahim tersebut
akan memiliki implikasi psikologis yang mendalam. Orang tersebut akan kuat
batin dan jiwanya, sehingga ia tidak pernah merasa takut menghadapi hidup
dengan berbagai cobaan ini. Kekuataan orang beriman ini diperoleh karena
harapan akan kasih saying Allah yang senantiasa menyertai makhluk-Nya. Dia
tidak akan putus asa. Karena dia yakin bahwa Allah selalu menyertainya. Dengan
demikian kepercayaan sifat arrahman dan arrahim ini akan menimbulkan sikap
optimis.
Namun bersamaan
dengan timbulnya sikap optimis tersebut, orang yang memiliki kepercayaan kepada
Allah yang memiliki sifat yang demikian itu harus pula berupaya meniru atau
menyerap sifat-sifat tersebut menurut kadar kesanggupan dirinya. Imam al-
Ghazali mengungkapkannya dengan kalimat al-takhalluq bi akhlaq allah ‘ala thaqa
al-basyariyah (berakhlak dengan akhlak Allah menurut kadar kesanggupan
manusia). Hasil peniruandan penyerapan terhadap sifat-sifat Allah tersebut
selanjutnya di aplikasikan dalam prilaku dan akhlak yang mulia. Dalam hubungan
ini manusia berupaya menampilkan sifat kasih sayang kepada sesama makhluk Tuhan
lainnya. Dengan cara demikian, maka keberadaan manusia akan senantiasa memberi
manfaat bagi makhluk lainnya. Dengan uraian yang demikian itu terlihat sekali
hubungan yang erat antara pemahaman trhadap sifat-sifat Allah dengan pendidikan
akhlak yang mulia. Dengan cara demikian makna keimanan tersebut sesungguhnya
bukan untuk Allah (teo-centris) tetapi untuk manusia (antropa-centris). Dengan
kata lain keimanan itu di tunjukkan hanya kepada Allah, tetapi hasilnya adalah
untuk manusia. Agar hasil yang di peroleh dari keimanan tersebut benar-benar
maksimal, tidak goyah dan tidak salah, maka keimanan tersebut harus penuh,
tidak ragu-ragu,dan tidak pula di campuri dengan perbuatan syirik.
2.
Makna
ayat ke-23
هُوَ اللهُ الَّذِى لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
المَلِكُ القُدُّ سُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزُيْزُ
الْجَبَّارُ اَلْمُتَكَبَّرُ سُبْحَنَ اللهِ عَمَّا يُشْرِ كُوْنَ
“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja yang Maha Suci, yang
Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha
Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa terhadap
apapun juga. Dialah yang menggerakkan segala sesuatu tanpa ada yang mampu
menghalangi dan menolaknya. Dia terhindar dari segala sesuatu yang tercela dan
hal-hal yan menunjukkan kekurangan, yang mengamankan makhluk-Nya dari sesuatu
yang menzalimi-Nya dan dia pula yang mengintai-Nya. Dia pula yang memuliakan
terhadap sesuatu yang dinilai rendah, yang mampu mengalahkan sesuatu melalui
keagungan dan daya paksa-Nya.
Dari ayat ini para ulama
mencatat sifat-sifat Allah yang tergolong dari Asma’ Al-Husna lainnya, yaitu
sifat al-Malik, al-Qudus, al-Salam, al-Mukmin, al-Muhaimin, al Aziz, al-Jabbar,
al-Mutakabbir. Menurut H.M. Quraish Shihab, bahkan kata al-Malik yang dalam
al-Qur’an terulang sebanyak lima kali secara umum berarti raja atau penguasa,
dan juga mengandung makna kekuatan dan keshahihan, yaitu penguasaan terhadap
sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Dalam
al-Qur’an tanda-tanda kepemilikan kerajaan-Nya adalah kehadiran banyak pihak
kepada-Nya untuk memohon agar dipenuhi kebutuhannya, dan atau untuk
menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi.
Selanjutnya al-Quddus yang
dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua kali adalah kata yang mengandung makna kesucian. Hubungannya dengan al-Malik,
H.M. Quraish Shihab memberikan alasan bahwa karena raja yang dikenal dalam
kehidupan duniawi tidak luput dari kesalahan, bahkan tidak jarang melakukan
pengrusakan dan kekejaman, maka dengan disusulnya oleh sifat al-Quddus adalah untuk menunjukkan
kesempurnaan kerajaa-Nya sekaligus menampik adanya kesalahan, pengrusakan atau
kekejaman dari-Nya, karena kekudusan seperti ditulis Albiqa’iy dalam tafsirnya “nazem
addurar”sebagaimana dikutip H.M. Quraish Shihab adalah kesucian yang tidak
menerima prubahan, tida disentuh kekotoran, dan terus menerus terpuji dengan
langgengnya sifat kekudusan itu”.
dalam pada itu al salam yang dalam
al-Qur’an hanya disebut satu kali terambil dari kata salima yang maknanya
berkisar pada keselamatan dan terhindar dari segala yang tercela. Allah adalah
al-salam, karena yang maha esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan
kepunahan yang dialami oleh para makhluk. Sifat ini semakin menambah kokoh
kedudukannya sebagai al-malik. Dengan demikian Allah adalah penguasa yang juga
terhindar segala sifat yang tercela.
Selanjutnya al-mukmin
terambil dari akar kata amina yang mengandung arti “pembenaran” dan “ketenangan
hati”. Seperti antara lain iman, amanah, dan aman. Amanah adalah lawan dari
kata khianat yang melahirkan ketenangan
batin. Iman adalah pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu.
Dalam pada al-muhaiminu yang
dalam al-Qur’an hanya disebut sebanyak dua kali menurut al-Ghazali adalah
berarti yang menangani dan mengawasi urusan makhluk-Nya dari sisi amal
perbuatan mereka, rezeki dan ajalnya.
Mengenai kata al-Aziz yang
terulang sebanyak 99 kali dalam al-Qur’an
antara lain bermakna angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dukungan
dan semangat membangkang. Allah adalah aziz yang berarti bahwa Dia-lah yang maha
mengalahkan siapa saja yang melawan-Nya
dan tidak terkalahkan oleh siapapun.
Sejalan dengan itu al-Jabbar
yang dalam al-Qur’an hanya disebut satu kali mengandung arti ketinggian yang
tidak mampu dijangkau.
Al-mutakabbir sebagai sifat
Allah sebagaiman halnya al-jabbar, juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali
sekali. Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna kebesaran serta
lawan dari kemudaan dan kekecilan. Mutakabbir biaa diterjemahkan dengan
“angkuh”, sementara ulama berpendapat bahwa makna asal dari kata ini adalah
keanggunan dan ketidaktundukan. Jadi, Allah yang bersifat mutakabbir adalah dia
yang enggan untuk menganiaya hamba-hambaNya.
Terasa padat mengenai
sifat-sifat Allah yang dapat dipahami dari kandungan surah al-Hasyr ayat 23
diatas, tentu saja bukan ditujukan semata-mata untuk dipahami secara benar,
melainkan untuk dihayati dan diamalkan. Dengan cara demikian pemahaman tersebut
tidak semata-mata bersifat teo-centris tetapi juga antropo-centris.
3. Makna ayat ke 24
هُوَ اْلخَلِقُ الْبَآ رِئُ الْمُصَوَّ رُ
لَهُ الْأَ سْمَاءُ اَلْحُسْنَى يُسَبَّحُ لَهُ مَا فِى السَّمَوَتِ وَالْأَرْضِ
وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Dia-lah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk
rupa, yang mempunyai Nama-Nama yang paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa
yang ada dilangit dan dibumi. Dan Dia-lah yang maha perkasa lagi maha
bijaksana”
Berkenaan dengan ayat
tersebut, al-Mataghi mengatakan bahwa Dia-lah Allah yang menciptakan segala
sesuatu dan menampakkannya dialam jagat raya berdasarkan sifat yang
dikehendakiNya. Dia-lah Allah yang memiliki asma’ Al-husna dan tidak ada
satupun yang dapat menyamai-Nya. Dengan sifat-sifatNya yang demikian itulah
maka segala apa yang ada di langit dan dibumi memuji-Nya.
Diantara hal yang menarik dari surat al-Hasyr ini adalah
dijumpainya persamaan antara ayat pembuka dan penutup. Pada ayat pembuka
ditemui ayat yang berbunyi:
سُبَّحَ اِللهِ مَا فِى السَّمَوَتِ وَمَا فِى الْأَرْضِ
وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang
ada dibumi, dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Sedangkan pada ayat penutup
berbunyi:
يُسَبَّحُ لَهُ مَافِى السَّمَوَتِ وَتِ وَالْأَرْضِ
وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Dan Dia-lah yang maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
Hal yang menarik
ini dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya
agar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. dengan cara demikian
manusia akan berada dalam kekuasaan-Nya yang akan di jamin keselamatan,
kedamaian, perlindungan, kasih sayang dan sebagainya. Dalam realisasinya upaya
ini dilakukan dengan melakanakan berbagai aktivitas kehidupan melalui segenap
potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Manusia yang demikian itulah yang ingin
dituju dalam pendidikan islam.
Hal yang demikian dapat dipahami dengan melihat lebih
jauh realisasi dari sifat-sifat Allah tersebut diatas. Allah S.W.T. dengan
sifat-sifat-Nya yang demikian itu adalah Tuhan yang kreatif. Ia menciptakan
alam raya dengan segala isinya yang dibutuhkan oleh manusia. Dia pula yang
menciptakan waktu malam sebagai saat beristirahat, dan waktu siang saat
berusaha mencari karunia-Nya. Dia pula yang menurunkan hujan dari langit yang
menyebabkan bumi menjadi subur dengan tumbuhan. Hal ini dijelaskan dalam ayat
sebagai berikut :
وَمِنْ اَيَتِهِ خَلْقُ السَّمَوَ تِ وَالْأَرْضِ
وَاتِلَا أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَ نِكُمْ إِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَ يَتٍ
لَلْعَلَمِيْنَ. وَمِنْ اَيَتِهِ مَنَا مُكُمْ بِالَّيْلِ وَنَّهَارِ وَبْتِغَا
ؤُكُمْ مَّنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَ يَتٍ لَقَوْمٍ يَسْمَعُوْنَ. وَمِنْ
اَيَتِهِ يُرِيْكُمُ الْبَرْقُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَ يُنَزَّلُ مِنَسَّمَآ ءِ مَآ
ءً فَيُحْيِ بِهِ الْأَرْضِ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِى ذَ لِكَ لَأَ يَتٍ
لَّقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ. وَمِنْ اَيَتِهِ أَنْ تَقُوْ مَ السَّمَآءُ وَالْاَرْضُ
بِاَمْرِهِ, ثُمَّ اِذَا دَعَا كُمْ دَعْوَ ةَمَّنَ الْأَرْضِ إِذَاأَنْتُمْ
تَخْرُ جُوْنَ.
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.
Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu diwaktu malam dan siang hari dan usahamu
mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk
(menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan dia menurunkan air hujan dari langit,
lalu meghidupkan bumu dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan
akalanya.
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya.
Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu
(juga) kamu keluar dari (dari kubur).”
Selanjutnya jika tiga ayat surat al-Hasyr sebagaimana
telah diuraikan dihubungkan dengan empat ayat surat Ar-Rum berikutnya tampak
dijumpai keserasian yang indah. Ayat-ayat tersebut tampak sebagiannya
menafsirkan sebagian yang lain (yufassir ba’dluhu ba’dlan). Ayat-ayat surat al-Hasyr menjelaskn tentang
sifat-sifat Tuhan, sedangkan ayat-ayat surat Ar-Rum berikutnya menjelaskan
tanda-tanda sifat-sifat Tuhan tersebut. Sedangkan makna pragmatis yang dapat
diambil dari keterangan tersebut adalah bahwa Allah merasa perlu untuk
mengaktualisasikan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Karena dengan cara demikianlah,
selain Allah akan dapat dikenal, juga akan dirasakan eksistensinya secara
fungsional oleh manusia. Demikian pula halnya manusia yang memiliki berbagai
predikat atau gelar. Ia harus diaktualisasikan predikat dan gelarnya itu secara
nyata ditengah-tengah kehidupan. Hanya dengan cara demikian itulah manusia
selain dapat dikenal, juga dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya baik oleh
dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada intinya ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah S.W.T memiliki sifat-sifat
yang agung dan sempurna. Dengan sifat-sifat yang demikian itu Allah S.W.T
menciptakan dan melindungi seluruh ciptaan-Nya. Manusia disuruh mengimani Allah
dan mempelajari sifat-sifat-NYa bukan semata-mata untuk Allah S.W.T, melainkan
untuk manusia sendiri. Dengan keimanan tersebut diharapkan manusia dapat
memiliki sikap yang optimis, terbuka, demokratis, bertanggung jawab serta
senantiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi masyarakat
dan makhluk lainnya.
Dengan demikian terlihat dengan jelas, bahwa konsep
ketuhanan dalam islam bersifat monoteisme murni dan langsung. Yang dimaksud
dengan murni disini bahwa keesaan Allah baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya
tidak dapat dibagi-bagi, dan tidak pula dapat disamai oleh makhluk-Nya.
Keimanan yang demikian itulah keimanan dan akidah yang murni. Sedangkan yang
dimaksud dengan langsung adalah bahwa pengabdian manusia kepada-Nya tidak perlu
melalui perantara sebagaimana yang dilakukan masyarakat Arab Jahiliyah. Selain
itu dengan keimanan yang murni, al-Qur’an menolak paham ketuhanan yang
diciptakan oleh khayalan manusia sebagaimana dalam konsep ketuhanan dinamisme,
animism dan sebagainya. Tuhan dalam pandangan al-Qur’an adalah tuhan yang akrab
dengan manusia dan makhluk lainnya, namun bukan berarti Tuhan berada dan
menyatu dengan alam, atau segalanya serba Tuhan sebagaimana dijumpai dalam
dinamisme. Tuhan immanent dalam sifat dan perbuatan-Nya, tetapi transcendent dalam
zat-Nya, dank arena trancendent-Nya inilah maka Tuhan dalam islam tidak mungkin
dapat dijangkau oleh manusia. Dan dalam hubungan inilah, Nabi Muhammad S.A.W
menyuruh manusia memikirkan tentang ciptaan Tuhan, dan melarangnya berpikir
tentang zat Tuhan.