Kamis, 28 September 2017

Tafsir Tarbawi : Mengenal Allah, tafsir surat Al-Hasr dan Ar-Rum


MENGENAL ALLAH
Tafsir Surat Al-Hasr (59) ayat 22-24
Dan
Tafsir Surat Ar-Rum (30) ayat 22-25
A.    Surat Al-Hasr (59) ayat 22-24
1.      Makna ayat ke 22

هُوَاللهُ الَّذِى لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلِمُ الغَيْبِ وَالسَّهَّدَتِ هُوَ اللرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ

Dia-lah Allah yang tiada tuhan selain dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang maha pemurah lagi maha penyayang”.
            Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah, dan setiap orang yang menyembah selain Dia seperti tumbuh-tumbuhan, batu, berhala, atau raja adalah batal. Allah maha mengetahui segala sesuatu yang tampak dijagat raya baik yang tampak maupun tidak tampak, serta tidak ada satu yang dilangit dan dibumi ini yang lepas dari pengetahuan Tuhan. Allah memiliki rahmat yang amat luas yang menjangkau seluruh ciptaan-Nya. Allah Maha Pengasih di dunia dan di akhirat serta pada keduanya.
            Menurut ulama ahli tafsir bahwa pada ayat 22 surat al-Hasyr paling kurang berisi tiga penegasan, yaitu pertama, tentang sebutan Allah sebagai Tuhan dalam islam, kedua tentang sifat Ar-Rahman, dan ketiga tentang sifat Ar-Rahim bagi Allah S.W.T.
            Dalam kaitan dengan sebutan Allah sebagai Tuhan, H.M. Quraish Shihab berpendapat bahwa Allah adalah nama Tuhan yang paling popular. Para ulama berbeda pendapat menyangkut lafal mulia ini, apakah ia termasuk Asma’ Al-Husna adalah sifat Allah. Bukankah yang maha mulia itu sendiri menyatakan dalam kitab-Nya bahwa Wa lillahil Asma’ Al Husna ( milik Allah nama-nama yang terindah)?. Karena asmaul husna sifat Allah , maka tentu saja kata Allah bukan termasuk didalamnya. Tetapi ulama lain ber[endapat bahwa kata tersebut demikian agung, bahkan yang teragung, sehingga tidaklah wajar jika ia tidak termasuk Asma’ Al-Husna. Tidak ada halangan menurut mereka menjadikan lafal Allah sebagai salah satu dari Asma’ Al-Husna, bukankah Allah juga merupakan nama-Nya yang indah? Bahkan apabila anda berkata Allah maka apa yang anda ucapkan itu, telah mencakup nama-Nya yang lain, sedang bila anda mengucapkan namanya saja yang lain misalnya Ar-Rahim, Al-Malik, dan sebagainya, maka ia hanya menggambarkan sifat rahmat atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat dinamai Allah, baik secara hakekat maupun majas, sedang sifat-sifat-Nya yang lain secara umum dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya.
            Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa para ulama pada dasarnya sepakat bahwa Allah adalah nama bagi Tuhan dalam islam, dan di dalam nama Allah tersebut terhimpun seluruh sifat-Nya yang agung. Dengan demikian jika di sebut nama Allah, maka seluruh sifat agung ada pada diri-Nya, sedangkan jika di sebut salah satu sifat-Nya seperti arrahman,arrahim, dan seterusnya tidaklah menghimpun seluruh sifat-Nya. Dalam kaitan ini H.M.Qurash Shihab lebih lanjut menegaskan, agaknya dapat di sepakati bahwa kata Allah mempunyai kehususan yang tidak di miliki oleh kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna makna serta memiliki kekhususan yang berkaitan dengan rahasianya, sehungga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang di namai Ismullah al-A’zam (nama Allah yang paling mulia), yang bila di ucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya.
            Selanjutnya mengenai arrahman dan arrahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena itu dua nama inilah yang di tempatkan menyusul sebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga nabi Muhammad S.A.W. Melukiskan setiap pekerjaan yang tidak di mulai dengan Bismillahirrahmanirrahim adalah buntung, hilang berkatnya. Di dalam al-Qur’an kata arrahman terulang sebanyak  
57 kali, sedangkan arrahim sebanyak 95 kali. Banyak para ulama berpendaat bahwa baik arrahman maupun arrahim keduanya terambil dari akar kata rahmat dengan alasan bahwa wazan (timbangan) kata tersebut di kenal dalam bahasa arab, yaitu rahman setimbang dengan fa’lan dan ramim seimbang dengan fa’il. Arrahman seperti di kemukakan di atas tidak dapat di sandang kecuali oleh Allah S.W.T, karna itu pula di temukan dalam ayat al-Qur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata arrahman sebagai ganti kata Allah atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Mkna yang terkandung dari uraian ini adalah bahwa Allah S.W.T memiliki sifat yang maha pengasih dan penyayang terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya.
            Orang yang mempercayai Allah sebagai yang memiliki sifat arrahman dan arrahim tersebut akan memiliki implikasi psikologis yang mendalam. Orang tersebut akan kuat batin dan jiwanya, sehingga ia tidak pernah merasa takut menghadapi hidup dengan berbagai cobaan ini. Kekuataan orang beriman ini diperoleh karena harapan akan kasih saying Allah yang senantiasa menyertai makhluk-Nya. Dia tidak akan putus asa. Karena dia yakin bahwa Allah selalu menyertainya. Dengan demikian kepercayaan sifat arrahman dan arrahim ini akan menimbulkan sikap optimis.
            Namun bersamaan dengan timbulnya sikap optimis tersebut, orang yang memiliki kepercayaan kepada Allah yang memiliki sifat yang demikian itu harus pula berupaya meniru atau menyerap sifat-sifat tersebut menurut kadar kesanggupan dirinya. Imam al- Ghazali mengungkapkannya dengan kalimat al-takhalluq bi akhlaq allah ‘ala thaqa al-basyariyah (berakhlak dengan akhlak Allah menurut kadar kesanggupan manusia). Hasil peniruandan penyerapan terhadap sifat-sifat Allah tersebut selanjutnya di aplikasikan dalam prilaku dan akhlak yang mulia. Dalam hubungan ini manusia berupaya menampilkan sifat kasih sayang kepada sesama makhluk Tuhan lainnya. Dengan cara demikian, maka keberadaan manusia akan senantiasa memberi manfaat bagi makhluk lainnya. Dengan uraian yang demikian itu terlihat sekali hubungan yang erat antara pemahaman trhadap sifat-sifat Allah dengan pendidikan akhlak yang mulia. Dengan cara demikian makna keimanan tersebut sesungguhnya bukan untuk Allah (teo-centris) tetapi untuk manusia (antropa-centris). Dengan kata lain keimanan itu di tunjukkan hanya kepada Allah, tetapi hasilnya adalah untuk manusia. Agar hasil yang di peroleh dari keimanan tersebut benar-benar maksimal, tidak goyah dan tidak salah, maka keimanan tersebut harus penuh, tidak ragu-ragu,dan tidak pula di campuri dengan perbuatan syirik.

2.      Makna ayat ke-23
هُوَ اللهُ الَّذِى لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ المَلِكُ القُدُّ سُ اَلسَّلَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزُيْزُ الْجَبَّارُ اَلْمُتَكَبَّرُ سُبْحَنَ اللهِ عَمَّا يُشْرِ كُوْنَ
“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah satu-satunya penguasa terhadap apapun juga. Dialah yang menggerakkan segala sesuatu tanpa ada yang mampu menghalangi dan menolaknya. Dia terhindar dari segala sesuatu yang tercela dan hal-hal yan menunjukkan kekurangan, yang mengamankan makhluk-Nya dari sesuatu yang menzalimi-Nya dan dia pula yang mengintai-Nya. Dia pula yang memuliakan terhadap sesuatu yang dinilai rendah, yang mampu mengalahkan sesuatu melalui keagungan dan daya paksa-Nya.
      Dari ayat ini para ulama mencatat sifat-sifat Allah yang tergolong dari Asma’ Al-Husna lainnya, yaitu sifat al-Malik, al-Qudus, al-Salam, al-Mukmin, al-Muhaimin, al Aziz, al-Jabbar, al-Mutakabbir. Menurut H.M. Quraish Shihab, bahkan kata al-Malik yang dalam al-Qur’an terulang sebanyak lima kali secara umum berarti raja atau penguasa, dan juga mengandung makna kekuatan dan keshahihan, yaitu penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Dalam al-Qur’an tanda-tanda kepemilikan kerajaan-Nya adalah kehadiran banyak pihak kepada-Nya untuk memohon agar dipenuhi kebutuhannya, dan atau untuk menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi.
      Selanjutnya al-Quddus yang dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua kali adalah kata yang mengandung  makna kesucian. Hubungannya dengan al-Malik, H.M. Quraish Shihab memberikan alasan bahwa karena raja yang dikenal dalam kehidupan duniawi tidak luput dari kesalahan, bahkan tidak jarang melakukan pengrusakan dan kekejaman, maka dengan disusulnya  oleh sifat al-Quddus adalah untuk menunjukkan kesempurnaan kerajaa-Nya sekaligus menampik adanya kesalahan, pengrusakan atau kekejaman dari-Nya, karena kekudusan seperti ditulis Albiqa’iy dalam tafsirnya “nazem addurar”sebagaimana dikutip H.M. Quraish Shihab adalah kesucian yang tidak menerima prubahan, tida disentuh kekotoran, dan terus menerus terpuji dengan langgengnya sifat kekudusan itu”.
      dalam pada itu al salam yang dalam al-Qur’an hanya disebut satu kali terambil dari kata salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan terhindar dari segala yang tercela. Allah adalah al-salam, karena yang maha esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk. Sifat ini semakin menambah kokoh kedudukannya sebagai al-malik. Dengan demikian Allah adalah penguasa yang juga terhindar segala sifat yang tercela.
      Selanjutnya al-mukmin terambil dari akar kata amina yang mengandung arti “pembenaran” dan “ketenangan hati”. Seperti antara lain iman, amanah, dan aman. Amanah adalah lawan dari kata khianat yang melahirkan  ketenangan batin. Iman adalah pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu.
      Dalam pada al-muhaiminu yang dalam al-Qur’an hanya disebut sebanyak dua kali menurut al-Ghazali adalah berarti yang menangani dan mengawasi urusan makhluk-Nya dari sisi amal perbuatan mereka, rezeki dan ajalnya.
      Mengenai kata al-Aziz yang terulang sebanyak 99 kali dalam al-Qur’an  antara lain bermakna angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dukungan dan semangat membangkang. Allah adalah aziz yang berarti bahwa Dia-lah yang maha mengalahkan siapa saja yang melawan-Nya  dan tidak terkalahkan oleh siapapun.
      Sejalan dengan itu al-Jabbar yang dalam al-Qur’an hanya disebut satu kali mengandung arti ketinggian yang tidak mampu dijangkau.
      Al-mutakabbir sebagai sifat Allah sebagaiman halnya al-jabbar, juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali sekali. Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna kebesaran serta lawan dari kemudaan dan kekecilan. Mutakabbir biaa diterjemahkan dengan “angkuh”, sementara ulama berpendapat bahwa makna asal dari kata ini adalah keanggunan dan ketidaktundukan. Jadi, Allah yang bersifat mutakabbir adalah dia yang enggan untuk menganiaya hamba-hambaNya.
      Terasa padat mengenai sifat-sifat Allah yang dapat dipahami dari kandungan surah al-Hasyr ayat 23 diatas, tentu saja bukan ditujukan semata-mata untuk dipahami secara benar, melainkan untuk dihayati dan diamalkan. Dengan cara demikian pemahaman tersebut tidak semata-mata bersifat teo-centris tetapi juga antropo-centris.
3.      Makna ayat ke 24

هُوَ اْلخَلِقُ الْبَآ رِئُ الْمُصَوَّ رُ لَهُ الْأَ سْمَاءُ اَلْحُسْنَى يُسَبَّحُ لَهُ مَا فِى السَّمَوَتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Dia-lah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai Nama-Nama yang paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada dilangit dan dibumi. Dan Dia-lah yang maha perkasa lagi maha bijaksana”
Berkenaan dengan ayat tersebut, al-Mataghi mengatakan bahwa Dia-lah Allah yang menciptakan segala sesuatu dan menampakkannya dialam jagat raya berdasarkan sifat yang dikehendakiNya. Dia-lah Allah yang memiliki asma’ Al-husna dan tidak ada satupun yang dapat menyamai-Nya. Dengan sifat-sifatNya yang demikian itulah maka segala apa yang ada di langit dan dibumi memuji-Nya.
            Diantara hal yang menarik dari surat al-Hasyr ini adalah dijumpainya persamaan antara ayat pembuka dan penutup. Pada ayat pembuka ditemui ayat yang berbunyi:

سُبَّحَ اِللهِ مَا فِى السَّمَوَتِ وَمَا فِى الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi, dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Sedangkan pada ayat penutup berbunyi:
يُسَبَّحُ لَهُ مَافِى السَّمَوَتِ وَتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ
“Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dia-lah yang maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
          Hal yang menarik ini dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya agar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. dengan cara demikian manusia akan berada dalam kekuasaan-Nya yang akan di jamin keselamatan, kedamaian, perlindungan, kasih sayang dan sebagainya. Dalam realisasinya upaya ini dilakukan dengan melakanakan berbagai aktivitas kehidupan melalui segenap potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Manusia yang demikian itulah yang ingin dituju dalam pendidikan islam.
            Hal yang demikian dapat dipahami dengan melihat lebih jauh realisasi dari sifat-sifat Allah tersebut diatas. Allah S.W.T. dengan sifat-sifat-Nya yang demikian itu adalah Tuhan yang kreatif. Ia menciptakan alam raya dengan segala isinya yang dibutuhkan oleh manusia. Dia pula yang menciptakan waktu malam sebagai saat beristirahat, dan waktu siang saat berusaha mencari karunia-Nya. Dia pula yang menurunkan hujan dari langit yang menyebabkan bumi menjadi subur dengan tumbuhan. Hal ini dijelaskan dalam ayat sebagai berikut :
وَمِنْ اَيَتِهِ خَلْقُ السَّمَوَ تِ وَالْأَرْضِ وَاتِلَا أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَ نِكُمْ إِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَ يَتٍ لَلْعَلَمِيْنَ. وَمِنْ اَيَتِهِ مَنَا مُكُمْ بِالَّيْلِ وَنَّهَارِ وَبْتِغَا ؤُكُمْ مَّنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَ يَتٍ لَقَوْمٍ يَسْمَعُوْنَ. وَمِنْ اَيَتِهِ يُرِيْكُمُ الْبَرْقُ خَوْفًا وَطَمَعًا وَ يُنَزَّلُ مِنَسَّمَآ ءِ مَآ ءً فَيُحْيِ بِهِ الْأَرْضِ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِى ذَ لِكَ لَأَ يَتٍ لَّقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ. وَمِنْ اَيَتِهِ أَنْ تَقُوْ مَ السَّمَآءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهِ, ثُمَّ اِذَا دَعَا كُمْ دَعْوَ ةَمَّنَ الْأَرْضِ إِذَاأَنْتُمْ تَخْرُ جُوْنَ.
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda  bagi orang-orang yang mengetahui.
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu diwaktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan dia menurunkan air hujan dari langit, lalu meghidupkan bumu dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalanya.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar dari (dari kubur).”
            Selanjutnya jika tiga ayat surat al-Hasyr sebagaimana telah diuraikan dihubungkan dengan empat ayat surat Ar-Rum berikutnya tampak dijumpai keserasian yang indah. Ayat-ayat tersebut tampak sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain (yufassir ba’dluhu ba’dlan).  Ayat-ayat surat al-Hasyr menjelaskn tentang sifat-sifat Tuhan, sedangkan ayat-ayat surat Ar-Rum berikutnya menjelaskan tanda-tanda sifat-sifat Tuhan tersebut. Sedangkan makna pragmatis yang dapat diambil dari keterangan tersebut adalah bahwa Allah merasa perlu untuk mengaktualisasikan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Karena dengan cara demikianlah, selain Allah akan dapat dikenal, juga akan dirasakan eksistensinya secara fungsional oleh manusia. Demikian pula halnya manusia yang memiliki berbagai predikat atau gelar. Ia harus diaktualisasikan predikat dan gelarnya itu secara nyata ditengah-tengah kehidupan. Hanya dengan cara demikian itulah manusia selain dapat dikenal, juga dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan masyarakat sekitar.
            Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah S.W.T memiliki sifat-sifat yang agung dan sempurna. Dengan sifat-sifat yang demikian itu Allah S.W.T menciptakan dan melindungi seluruh ciptaan-Nya. Manusia disuruh mengimani Allah dan mempelajari sifat-sifat-NYa bukan semata-mata untuk Allah S.W.T, melainkan untuk manusia sendiri. Dengan keimanan tersebut diharapkan manusia dapat memiliki sikap yang optimis, terbuka, demokratis, bertanggung jawab serta senantiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi masyarakat dan makhluk lainnya.
            Dengan demikian terlihat dengan jelas, bahwa konsep ketuhanan dalam islam bersifat monoteisme murni dan langsung. Yang dimaksud dengan murni disini bahwa keesaan Allah baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya tidak dapat dibagi-bagi, dan tidak pula dapat disamai oleh makhluk-Nya. Keimanan yang demikian itulah keimanan dan akidah yang murni. Sedangkan yang dimaksud dengan langsung adalah bahwa pengabdian manusia kepada-Nya tidak perlu melalui perantara sebagaimana yang dilakukan masyarakat Arab Jahiliyah. Selain itu dengan keimanan yang murni, al-Qur’an menolak paham ketuhanan yang diciptakan oleh khayalan manusia sebagaimana dalam konsep ketuhanan dinamisme, animism dan sebagainya. Tuhan dalam pandangan al-Qur’an adalah tuhan yang akrab dengan manusia dan makhluk lainnya, namun bukan berarti Tuhan berada dan menyatu dengan alam, atau segalanya serba Tuhan sebagaimana dijumpai dalam dinamisme. Tuhan immanent dalam sifat dan perbuatan-Nya, tetapi transcendent dalam zat-Nya, dank arena trancendent-Nya inilah maka Tuhan dalam islam tidak mungkin dapat dijangkau oleh manusia. Dan dalam hubungan inilah, Nabi Muhammad S.A.W menyuruh manusia memikirkan tentang ciptaan Tuhan, dan melarangnya berpikir tentang zat Tuhan.

       

Persamaan Diferensial Orde 2

BAB I PENDAHULUAN A.     Pengantar Persamaan differensial orde 2 adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk : F(x, y, y...